Selamat pagi...
Saya tidak pernah menyukai saham-saham yang penggeraknya bukan faktor fundamental. Benci.. mungkin adalah kata yang lebih tepat. Non-fundamental stocks... begitu saya biasa menyebutnya. Saham yang analis fundamental tidak mau melirik karena penggeraknya bukan faktor-faktor fundamental yang jelas. Rumor, kabar angin, berita yang sering kali emitennya kemudian menolak bahwa berita itu benar. Kalau anda... mungkin sudah terbiasa menyebutnya sebagai Saham Gorengan.
Bagi orang yang tahu bahwa saya adalah seorang analis teknikal, itu sebenarnya terdengar aneh. Aneh, karena seorang analis teknikal, seharusnya bisa memprediksi semua macam saham. Tidak ada bedanya antara saham non-fundamental dan saham fundamental. Well... memang begitu seharusnya... prediksinya sama saja. Nggak susah juga kok... banyak saham-saham non-fundamental yang arah pergerakan harganya masih bisa diprediksi dengan retracement 50%. Harga turun, retracement 50% kena terus rebound... harga naik terus kena retracement 50% terus turun, masih banyak lagi. Prediksinya memang sama, tapi... karena saham-saham ini telah banyak memakan korban, maka saya jadi cenderung menghindar jika orang bertanya kepada saya mengenai saham-saham tersebut.
Ada beberapa masalah yang membuat saya membenci saham-saham non-fundamental ini. Masalah pertama bagi saya adalah: saya lebih sering melihat orang jatuh rugi setelah 'berkenalan' dengan saham-saham itu, dibandingkan ketika mereka mencoba 'berinvestasi' pada saham-saham tersebut. Jauh lebih sering dibandingkan dengan mereka yang mencoba untuk membeli saham-saham yang berfundamental jelas. Lebih sial lagi, karena saham-saham ini seringkali harganya secara nominal murah, maka korban dari saham-saham ini sebagian besar adalah pemodal retail yang kecil. Mereka yang sebenarnya tadinya hanya 'coba-coba' masuk ke bursa. Coba-coba membeli saham. Orang coba-coba malah kemudian dihabisi oleh pasar. Jadi... kalau anda melihat ada orang bursa yang terheran-heran, mengapa jumlah angka pemodal retail kita tidak pernah bertambah, itu sebenarnya hanyalah sebuah lelucon. Gak heran kalau jumlah pemodal retail kita dari dulu cuman segitu-segitu saja. Orang kelakuan orang bursanya seperti ini...
Masalah yang kedua, pasti sudah anda baca pada tulisan saya yang sebelumnya, yaitu mengenai Trader Pengejar Rumor: Di bursa, orang itu rela 'dengan tidak sengaja tapi konsisten' memberikan rumor yang tidak benar. Saya sebut 'tidak sengaja tapi konsisten' itu dengan alasan sebagai berikut: Rumor itu, sumbernya biasanya dari analsis sebuah berita atau realita yang dihadapi oleh perseroan. Kalau analisis, berarti ada kualitasnya. Kalau orang yang memberikan ini adalah orang yang nalar, yang niatannya baik, pasti dia akan menjaga kualitas analisisnya. Berusaha memberikan analisis yang sebaik-baiknya, analisis yang benar. Lebih sering yang benar daripada yang salah.
Tapi tetap saja, tidak ada analisis yang 100% benar. Sejelek-jeleknya orang, seperti apa sih kualitasnya? Saya kira, sejelek-jeleknya orang, asal mau berusaha, pasti mau benar 3 dari 10, pasti tidak akan sulit. Benar 2 dari 10 deh... masa sulit sih? Tapi dalam tulisan saya tersebut jelas: 10 prediksi salah dari 10 prediksi. Masa sih bisa dilakukan dengan 'tidak sengaja'? Terutama jika dilakukan ketika IHSG berada di daerah resisten? Daerah dimana harga memiliki probabilitas untuk bergerak turun dibandingkan bergerak naik?
Beberapa bulan yang lalu, saya membaca mengenai tadlis. Secara harfiah, arti kata dari tadlis adalah penipuan. Definisi lengkap dari tadlis (yang saya dapat dari weblog Belajar Ekonomi Islam) ini adalah sebagai berikut: tadlis adalah transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak diketahui oleh salah satu pihak ( unknown to one party). Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak, mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak yang merasa ditipu/dicurangi karena ada sesuatu yang unknown to one party”.
Ada 4 (empat) hal dalam transaksi Tadlis, yaitu :
- Kuantitas, mengurangi takaran
- Kualitas, menyembunyikan kecacatan barang
- Harga, memanfaatkan ketidaktahuan pembeli akan harga pasar
- Waktu, menyanggupi delivery time yang disadari tidak akan sanggup memenuhinya
Dalam ke empat bentuk tadlis tadi, semuanya bersifat melanggar prinsip rela sama rela (An Taradin Minkum). Keadaan rela sama rela yang dicapai bersifat sementara yakni sementara pihak yang ditipu belum sadar. Disaat yang ditipu telah sadar bahwa dirinya tertipu, maka ia pasti tidak merasa rela.
Istilah tadlis ini, berasal dari jaman Rasulullah, Muhammad SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Hadist tersebut menyatakan bahwa Rasulullah pada suatu hari berjalan ke pasar, kemudian beliau melihat pedagang menjualsetumpuk kurma yang bagus, Rasulullah tertarik dengan kurma tersebut, tetapi ketika beliau memasukkan tangan ke dalam tumpukan kurma itu ternyata di bagian bawahnya busuk, kemudian Rasulullah menanyakan kepada pedagangnya mengapa kurma yang dibawahnya basah. Pedagang menjawab bahwa kurma yang basah tersebut karena hujan. Kemudian Rasulullah bertanya lagi mengapa kurma yang basah tersebut tidak diletakkan di atas supaya orang bisa melihatnya. Rasulullah menyatakan bahwa orang yang menipu dalam berdagang bukan umatnya.
Perbuatan dimana 'seseorang meletakkan barang yang bagus sebagai display sedangkan dibawahnya adalah barang yang busuk', sebenarnya mengingatkan saya kepada apa yang biasa kita sebut sebagai window dressing. Akan tetapi... kalau kita kemudian melihat pada proses 'pemberian informasi yang sesat' yang esensinya sering kita lihat dalam sebuah rumor. Bukankah itu mirip dengan definisi tadlis yang ada pada hadist tersebut diatas?
Apakah pemberian dengan sengaja dan sistematis, informasi atau rumor yang sesat, adalah suatu bentuk perdagangan yang bisa digolongkan sebagai tadlis?
Saya bukan pakar ekonomi syariah. Saya hanya salah satu 'pelajar' yang kebetulan tengah menekuni ekonomi syariah. Dari sedikit ilmu yang saya dapat, saya sih 'merasa' bahwa penyesatan informasi secara sistematis seperti ini bisa digolongkan sebagai tadlis. Tapi... benarkah?
Keraguan inilah yang membuat saya lebih cenderung untuk berkutat pada saham-saham yang berfundamental jelas. Memang, karena saya masih belum 'mengibarkan bendera syariah' dalam weblog ini, saya masih melakukan rekomendasi atau analisis pada saham-saham perbankan. Akan tetapi, saya berusaha sedapat mungkin untuk tidak merekomendasikan saham-saham dengan fundamental tidak jelas. Terutama saham-saham yang hanya di drive oleh rumor, tidak oleh kinerja perusahaan.
Terkadang... hati saya masih saja kecewa, melihat mereka yang mengaku muslim, tapi tetap merekomendasikan saham gorengan, atau... mereka yang mengaku muslim, tapi masih terlibat dengan penggorengan saham. Tapi mau gimana lagi?
Minimal, saya sudah memulainya dari diri saya sendiri.
Happy trading... semoga untung!!!
Satrio Utomo